Industri perfilman Indonesia kembali menghadirkan karya yang menggugah dengan nuansa gelap dan penuh teka-teki. Tulang Belulang Tulang, film garapan sutradara Yosep Anggi Noen, menjadi buah bibir sejak penayangannya perdana di ajang festival internasional. Film ini bukan hanya menawarkan misteri, tetapi juga menyuguhkan kritik sosial dan refleksi mendalam tentang tubuh, kekuasaan, dan identitas.
Sinopsis Singkat: Pencarian di Tengah Kegelapan
Film ini mengikuti sosok seorang perempuan bernama Ina, yang bekerja sebagai pengumpul tulang belulang korban pelanggaran HAM masa lalu. Dengan latar desa terpencil yang nyaris dilupakan, Ina melakukan pencarian tulang-tulang yang terkubur secara diam-diam. Namun, pencarian itu bukan sekadar upaya pelestarian sejarah, melainkan juga bentuk pemberontakan terhadap ingatan kolektif yang dibungkam.
Ina dipertemukan dengan berbagai tokoh misterius dan realitas yang absurd. Semakin ia mendekat pada kebenaran, semakin pula kabur batas antara nyata dan halusinasi. Di sinilah kekuatan naratif film mulai terasa.
Visual dan Atmosfer yang Mencekam
Gaya Sinematografi yang Eksperimental
Dari segi visual, Tulang Belulang Tulang menggunakan palet warna monokrom yang mempertegas suasana sunyi dan angker. Sinematografi yang lambat dan penuh komposisi simbolik membuat penonton larut dalam atmosfer yang intens.
Bukan hanya teknik kamera, desain suara film ini juga dibuat sedemikian rupa untuk menekankan rasa tidak nyaman. Keheningan panjang yang diselingi suara gesekan tanah dan desir angin, justru menambah ketegangan dan membawa kita masuk ke alam bawah sadar tokohnya.
Simbolisme dalam Narasi
Tulang bukan hanya sebagai benda mati dalam film ini, tapi menjadi metafora atas trauma kolektif bangsa. Setiap fragmen tulang yang ditemukan Ina seolah mengungkapkan kepingan sejarah yang sengaja dikubur. Film ini berbicara tentang bagaimana negara (dan kita semua) memilih untuk lupa, dan bagaimana tubuh-tubuh yang terpinggirkan masih menuntut pengakuan.